Jumat, 24 Agustus 2012

Makalah Apresiasi Budaya



BUDAYA SUKU DAYAK KALIMANTAN TENGAH
DALAM MENGELOLA SUMBER DAYA ALAM
(POLA LADANG BERPINDAH)


I. Sejarah Singkat Kalimantan Tengah
Sejarah singkat Kalimantan Tengah didalam Maneser (TT) adalah dimulai sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan.
Tahun 1620, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kerajaan Demak,  agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1679 Kerajaan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah: Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman.
Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Tahun 1917, Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan  petugas-petugas pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah Sultan Mohamad Seman terbunuh di Sungai Menawing   dan dimakamkan di Puruk Cahu.
Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda. Menurut Hermogenes Ugang, pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia  pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang  telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa,  ia  berhasil  membapbtiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik.  Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Banjarmasin.
Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan  lapak lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar. Di masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah bersosialisasi  dengan pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya sendiri. Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah mengenyam pendidikan formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya dengan mendirikan Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe , Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis , Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926. Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak.
Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia. Tahun 1945, Persatuan Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai cabang di seluruh Kalimantan, dipelopori oleh  J. Uvang Uray ,  F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar,  kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, dan masih banyak  lainnya.

II. Kalimantan Tengah Secara Geografis
Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbesar di Pulau Kalimantan, luasnya sekitar 253.800 km² dimana sebagian besar wilayahnya adalah hutan. Bagian utara adalah pegunungan yang sulit dijangkau, bagian tengahnya merupakan hutan tropis yang lebat. sedangkan wilayah selatan adalah rawa dengan banyak sungai. Iklim di Kalimantan panas dan lembab. Kalimantan Tengah memiliki posisi geografisnya yang cukup strategis, berhadapan langsung dengan Laut Jawa dan berbatasan dengan provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, di provinsi inilah Anda berkesempatan untuk berwisata alam di tempat yang tepat. Itu karena Kalimantan Tengah sangat kaya dengan cagar alamnya,  seperti di Bukit Raya dan kelompok Hutan Monumental Kotawaringin Timur, Bukit Sapat Hawung di Barito Utara, dan Merang di Kota Palangkaraya.
Selain itu ada juga suaka alam darat dan laut di Kotawaringin Barat. Air terjun Malau Besar dan Pauras di Barito Utara, Tangkiling di Palangkaraya. Pantai yang indah dan alami di Kotawaringin Barat, serta Ujung Pandaran di Kotawaringin Timur. Orangutan merupakan hewan endemik yang masih banyak Anda dapat jumpai di Kalimantan Tengah khususnya Taman Nasional Tanjung Puting dengan luas mencapai 300.000 Ha tepatnya di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan. Di sini juga terdapat hewan lain seperti beruang, landak, owa-owa, beruk, kera, bekantan, trenggiling, buaya, kukang, paus air tawar (tampahas), arwana, manjuhan, biota laut, penyu, bulus, burung rangkong, betet, dan lain-lain (Indonesia Travel, TT).

III. Suku-Suku Dayak yang ada di Kalimantan Tengah
            Sebutan umum suku Dayak yang ada di Kalimantan Tengah adalah suku Dayak Ngaju karena yang paling dominan. Suku lainnya yang tinggal di pesisir adalah Banjar Melayu Pantai merupakan 24,20 % populasi. Di samping itu ada pula suku Jawa, Madura, Bugis dan lain-lain. Gabungan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90%. Keturunan suku Dayak yang mendiami provinsi ini adalah orang Ngaju, Ot Danum dan Maanyan. Bahasa daerah di Kalimantan Tengah terdiri dari puluhan, bahkan ratusan bahasa Dayak. Namun, dalam pergaulan sehari-hari, bahasa yang kerap digunakan adalah bahasa Dayak Ngaju, Dayak Maayan, Dayak Kapuas, bahasa Jawa, dan bahasa Banjar. Suku Dayak dikenal dengan “Rumah Betang” sebuah rumah besar yang dihuni beberapa keluarga sekaligus secara turun-temurun. Karena itulah kekerabatan mereka sangat erat dan menjadi unsur dominan keberlangsungan kebudayaan unik ini. Sebutan umum suku Dayak yang ada di Kalteng adalah suku Dayak Ngaju (dominan), suku lainnya yang tinggal di pesisir adalah Banjar Melayu Pantai merupakan 25 % populasi. Di samping itu ada pula suku Jawa, Madura, Bugis dan lain-lain. Suku Dayak di Kalteng antara lain :
1. Suku Dayak Ot Danum
2. Suku Dayak Ngaju
3. Suku Dayak Bakumpai
4. Suku Dayak Maanyan
5. Suku Dayak Dusun
6. Suku Dayak Lawangan
7. Suku Dayak Siang Murung
8. Suku Dayak Punan
9. Suku Dayak Sampit
10. Suku Dayak Kotawaringin Barat
11. Suku Dayak Katingan
12. Suku Dayak Bawo
13. Suku Dayak Taboyan
14. Suku Dayak Mangkatip
Indonesia Aondroid (TT)

IV. Arti Rumah Betang “Huma Betang” Kalimantan Tengah
Didalam Fazz (2007) arti Rumah Betang “Huma Betang” adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).
Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.
Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.

V. Pola Perladangan Berpindah
Suatu contoh nilai-nilai kearifan lokal yang diterapkan pada usaha perladangan berpindah diuraikan oleh Alamsyah (2010) ialah :
1.  Pola yang digunakan masyarakat adalah pola berladang gilir balik. Pola ini berarti bila, suatu areal sudah dibuka dan diladangi oleh masyarakat, maka akan ditinggal beberapa waktu tertentu untuk membuka lahan baru. Kemudian, setelah ladang pertama subur, maka masyarakat akan kembali lagi untuk menyambung perkebunan pada lahan tersebut.
2. Para peladang tradisional suku Dayak lebih suka memanfaatkan Jekau (hutan sekunder) daripada Empak (hutan primer).
3.  Para peladang selalu melakukan survey tentang kualitas lahannya sebelum berladang. Kebiasaan survey ini sudah menjadi adat kebiasaan turun temurun pada masyarakat Tentunya hanya hutan Jekau yang menurut petani sangat mudah untuk ditebang dan diurus namun kualitas tanahnya juga subur yang dijadikan ladang.
4.  Dalam setiap kegiatan berladang, masyarakat selalu melakukan upacara-upacara ritual adat untuk memohon kepada Sang Pencipta untuk memberikan kesuburan tanah selain juga dimaksudkan untuk menjauhkan masyarakat dari bencana alam. Hal tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat memang sangat dekat dengan alamnya, dan menunjukan bahwa mereka mempunyai semangat yang tinggi untuk pelestarian alam dan lingkungan hidup.
5.  Dalam aktifitas membuka lahan, tentunya tidak semua tumbuhan dan fauna yang dibabat, namun masih ada sebagian yang dibiarkan tumbuh subur di ladang mereka yang dianggap bermanfaat di kemudian hari.
6.  Peristiwa berladang sebenarnya adalah peristiwa budaya, dimana budaya handep hapakat atau kerjasama sejak menebas, membakar, menanam, hingga memanen merupakan rangkaian kearifan yang ditorehkan dalam kebersamaan dan semangat cinta kasih.
7.  Berladang adalah budaya regeneratif, dimana karet, rotan, damar dan tumbuhan lainnya ditanam pasca perladangan sebelumnya. Budaya ini, karenanya masyarakat Dayak menanam tumbuhan tersebut dibekas ladang terdahulu adalah suatu keharusan.
8.  Masyarakat Dayak Kalteng adalah masyarakat tradisional yang masih menghormati dan memegang erat hukum adat mereka. Hukum adat yang masih kuat, karenanya para tokoh masyarakat seperti, Penghulu, Damang, Kepala Adat atau Tetua Kampung masih dominan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dan persoalan yang muncul di masyarakat.
9. Hukum adat memberikan sanksi kepada mereka yang merusak hutan dan lahan dengan cara membakar. Hukum adat yang dimaksud dapat berupa Denda Adat, Pati Pamali, Penggantian Kerugian dan yang lebih berat biasanya sampai “hukum sosial” yaitu rasa malu yang harus ditanggung oleh pelaku jika merusak kebun atau ladang orang lain.

Menurut Dohong (2010) bahwa upaya konservasi sumberdaya alam dan perlindungan terhadap keanekaragaman sumberdaya hayatinya juga sudah dipraktekkan secara turun temurun dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah. Upaya itu bahkan boleh dikatakan lahir bersamaan dengan kehadiran peradaban suku Dayak itu sendiri. Citra manusia Dayak yang bercirikan sosio-religio- magis, pada gilirannya melahirkan sikap dan perilaku yang arif dan bertanggung jawab dalam praktek pengelolaan sumberdaya hutan.
Selanjutnya, Dohong (2010) menjelaskan bahwa konsepsi konservasi dan perlindungan flora dan fauna oleh Suku Dayak dapat ditelusuri melalui penggunaan berbagai terminologi seperti Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan, dan Pukung Himba.
Tajahan ialah suatu lokasi yang dikeramatkan oleh Suku Dayak khususnya yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di lokasi tajahan ini didirikan sebuah rumah-rumahan berukuran kecil untuk menaruh sesajen sebagai tanda persembahan kepada roh-roh halus yang bersemayam di tempat itu. Rumah-rumahan ini biasanya diisikan beberapa patung kecil yang merupakan simbol (replika) dari anggota keluarga yang sudah meninggal. Mereka meyakini roh orang meninggal dunia berdiam dalam patung-patung kecil tersebut, sehingga tidak akan mengganggu anggota keluarga yang masih hidup. Lokasi tajahan biasanya pada kawasan hutan yang masih lebat dan terkesan angker. Pada lokasi tersebut dilarang melakukan aktivitas manusia seperti menebang hutan, berburu dan lain-lainnya. Konsep tajahan sangat relevan dengan kegiatan konservasi karena di dalamnya terdapat aspek perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Kaleka ialah daerah peninggalan nenek moyang Suku Dayak jaman dahulu kala. Daerah ini biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang rumah betang/rumah panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti durian, langsat dan sebagainya. Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya (misal mengambil buah-buahan) untuk kepentingan bersama (common property). Dari perspektif konservasi ekologis, kaleka dapat dipandang sebagai gudang plasma nutfah (genetic pool).
Sepan-pahewan merupakan tempat sumber mata air asin dimana binatang-binatang seperti rusa, kijang, kancil dan lain-lain meminum air asin sebagai sumber 5 mineral. Dalam bahasa Dayak Kenyah sepan-pahewan disebut dengan istilah Sungan. Lokasi sepan-pahewan merupakan tempat perburuan Suku Dayak untuk memenuhi kebutuhan hewani. Tempat perburuan karenanya, lokasi tersebut umumnya selalu dipelihara dan dilindungi. Perlindungan lokasi sepan-pahewan sangat relevan dengan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi modern.
Para peladang Suku Dayak di Kalimantan Tengah memahami betul bahwa di dalam kegiatan membuka ladang, maka roh-roh penunggu (gana) yang bermukim pada lokasi itu harus dipindahkan ke lokasi yang baru yang disebut pukung himba. Pukung himba ialah bagian dari kawasan hutan rimba yang dicadangkan untuk tidak ditebang/dieksploitasi. Ciri-ciri daerah yang dijadikan pukung himba umumnya wilayah yang berhutan lebat dan berumur tua dengan diameter vegetasi kayu rata-rata berukuran relatif sangat besar, belum banyak terjamah oleh kegiatan manusia dan banyak dihuni oleh satwa liar. Hutan yang berumur tua dengan ukuran kayu besar dan terkesan sangat angker dipercayai sebagai tempat yang disenangi roh-roh (gana) untuk tempat bermukim. Keberadaan dan konsep pukung himba dari perspektif konservasi merupakan usaha pelestarian kawasan hutan beserta dengan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Berladang atau mamalan-manana merupakan salah satu ritual penting dalam kehidupan masyarakat Dayak Ngaju. Berladang dalam konsep pemikiran dan budaya Dayak Ngaju dan Dayak pada umumnya bukan persoalan pembalakan hutan atau peladangan berpindah seperti yang distigmakan. Berladang dalam kebudayaan Dayak Ngaju adalah proses untuk mengembangbiakkan padi sebagai perwujudan Dewi Sri atau Dewi Padi. Padi awalnya sebagai makanan para Sangiang yang dicuri oleh Puteri Jampa dari Mahatala karena si Puteri iba melihat kehidupan manusia di bumi. Oleh karenanya tidak dibenarkan menyia-nyiakan padi, beras, atau nasi karena ia memiliki roh yang disebut gana. Gana adalah roh penguasa atas benda-benda alam. Gana tidak memiliki kekuasaan langsung sebagai perantara ilah-ilah atau raja-raja. Roh yang terdapat di dalam padi disebut ganan parei atau bawin parei. Dengan demikian selain bertujuan sebagai upaya untuk penyediaan bahan pangan, berladang merupakan suatu kewajiban manusia Dayak Ngaju untuk terus mengembangbiakkan tumbuhan surgawi itu di bumi agar tidak punah. Di dalam ritual berladang setidaknya ada beberapa tahap yang harus dilakukan agar tidak mengalami gagal panen (diambil dari Agama tuntang Hadat Katingan Wajah Malan, R. Univ. Biblioteek, Leiden), antara lain:
1.    Gawi Mite Patendu atau Penentuan Musim;
2.    Gawi Mambagi Eka Malan atau Penentuan Lokasi dan ukuran;
3.    Gawi Sahelu Bara Mandirik atau ritual sebelum menebas pohon perdu;
4.    Gawi Mamanggul atau memohon izin agar penguasa (gana) tanah setempat berpindah ke tempat lain;
5.    Gawi Tamparan Dirik atau dimulainya pembukaan ladang dengan melihat petunjuk mimpi-mimpi;
6.    Gawi Maneweng atau menebang;
7.    Gawi Maentai Tana inusul atau menunggu musim yang tepat untuk membakar agar tidak menjalar dan terjadinya kebakaran hutan;
8.    Gawi Manusul Tana atau Membakar. Terlebih dulu membuat ‘sekat api’ atau parit-parit kecil di sekeliling ladang agar tidak merembet ke lahan lainnya;
9.    Gawi Lius Manusul atau membersihkan sisa-sisa bakaran;
10. Gawi Manugal atau musim tanam/tugal;
11. Gawi Katika Ngidam Parei (Tihin Hatue); dan
12. Gawi Manggetem atau musim panen.
Ada puluhan ritual yang menjadi prasyarat dari prosesi di atas sehingga proses berladang atau membuat ladang bukanlah proses yang sederhana dan sembarangan. Kesemuanya tidak dilakukan secara individual tetapi dengan konsep ‘pinjam-bayar tenaga’ atau disebut dengan handep.

VI. Hak dan Bukti Kepemilikan
            Menurut Kebudayaan Dayak (TT) bahwa hak dan bukti kepemilikan atas tanah/lahan meliputi:
A. Hak Kepemilikan
Hak milik warga benuaq/benua adalah kawasan dimana seluruh warga yang bermukim di benuaq tertentu memiliki hak kepemilikan yang sama. Yang termasuk hak milik benuaq adalah kuburan, tempat keramat, kampung buah, rimba dan areal perladangan termasuk tempat berburu, sungai, sarang lebah yang belum dimiliki, buah-buahan yang tumbuh liar di hutan umum, sarang burung yang belum ada pemiliknya serta pohon-pohon lain yang bermanfaat dan tumbuh di kawasan yang menjadi hak milik benuaq.
 1. Hak Milik Individu
Hak milik individu atas tanah dan tanam-tumbuh di atasnya diperoleh melalui cara-cara berikut ini:
·        Bekas ladang yang setelah panen ditanami dengan tanaman keras seperti pohon buah-buahan atau tanaman produktif lainnya seperti karet, kopi, rotan dlsb.
·        Warisan orangtua:
  1. Lahan yang diadati (dipudas) meskipun tidak ada tanaman kerasnya. Lahan yang dipudas adalah lahan yang ketika digarap menyebabkan kecelakaan atau penyakit bagi penggarapnya sehingga harus dilakukan upacara adat. Lahan yang dipudas termasuk hak milik pribadi karena orang yang memudas telah mengeluarkan sejumlah biaya sehingga bagi orang lain yang ingin menggarap lahan tersebut harus mengganti biaya yang telah dikeluarkan tersebut.
  2. Bawas bekas rimba yang digarap. Dengan kata lain, menjadi penggarap pertama lahan rimba. Penggarap berikutnya harus membayar hukuman adat yang disebut kerangahan beliung (lihat di bawah).
  3. Lahan yang diperoleh dengan membayar hukuman kerangahan beliung, yakni menjadi penggarap ke-2 dan ke-3 atas bawas bekas rimba (lihat di atas).
  4. Lahan yang dibeli dari warga se-kampung. Ini terutama berlaku pada masa sekarang.
  5. Lahan yang diperoleh sebagai pembayaran hukuman adat (denda adat yang dibayar dengan tanah).
Diluar kepemilikan atas tanah dan tanam-tumbuh, yang juga termasuk hak milik individu adalah seperti:
1.    Tempat memasang perangkap ikan di sungai, misalnya buangan/lumpatan atau pempambang di riam, tabaq tekalak, tabing, tabur atau bubuq di sungai kecil. Jika ada orang lain yang memasang perangkap di tempat yang telah dimiliki secara individu tersebut, maka dapat didenda dengan hukum adat.
2.    Tepian atau tempat pemandian di pondok ladang. Orang lain dilarang menuba di hulu sungai tempat pemandian tersebut tanpa ijin.
3.    Tempat memasang perangkap binatang di atas tanah seperti belantik dan lubang. Jika ada orang lain yang mengambil alih tanpa ijin, maka akan dikenakan hukum adat.
4.    Pohon madu tempat lebah bersarang (lalau) termasuk rampuk (sarang lebah dipohon tertentu), sarang burung tingang, penagung, kakah, ruiq, kekalau yang membuat lubang di pohon kayu sebagai sarangnya.
5.    Pohon belian yang telah ditebang. Meskipun sudah puluhan tahun tidak diolah, bahkan jika yang menebang bahkan sudah meninggal dunia, maka keturunannya masih memiliki hak atas pohon belian tersebut.
6.    Pohon damar atau tengkawang yang ditemukan dan dipanen pertama kali.
7.    Pohon buah yang tumbuh liar di hutan dan telah ditandai.
8.    Harta warisan
2. Hak Milik Seketurunan
Yang termasuk hak milik seketurunan adalah dahas-dakar (pedahasan pada Dayak Jalai, tembawang, dll), kebun buah-buahan, kebun karet, rotan dll. Masih banyak hak seketurunan yang tidak berhubungan dengan tanah yakni tempat memasang perangkap ikan di sungai, tempat memasang perangkap binatang di atas tanah dan di atas pohon, pohon tempat lebah bersarang, pohon belian yang sudah ditebang, meskipun sudah puluhan tahun tidak diolah, bahkan jika yang menebang bahkan sudah meninggal dunia, maka keturunannya masih memiliki hak pohon belian tersebut. Pohon damar atau tengkawang yang ditemukan dan dipanen pertama kali.
 3. Hak Milik Umum atau publik
Yang termasuk hak milik umum/publik adalah tempat pemukiman, tempat berburu, tempat menangkap ikan di sungai (menjala, memancing dll), memulut, memasang jerat, membuah, tempat berladang, tempat keramat.

B. Bukti Kepemilikan
Karena masyarakat adat Dayak tidak mengenal tradisi tulisan, maka “dokumen” yang mereka miliki sebagai bukti kepemilikan atas wilayah adat adalah dalam bentuk fisik dan non-fisik.
 1. Bukti Non-Fisik
·         Ceritera asal-usul dan kesaksian.
Bukti non-fisik biasanya dalam bentuk kesaksian-kesaksian serta ceritera asal-usul yang menyangkut suatu kawasan yang diklaim. Ceritera yang secara runtut dan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan serta dikuatkan oleh para saksi baik warga kampung maupun warga di luar kampung dapat dijadikan dasar bagi klaim atas suatu wilayah.
·         Pengelolaan.
Bukti non-fisik lainnya adalah pengelolaan yang dilakukan secara terus menerus terhadap kawasan tersebut. Tentu saja hal ini bukanlah merupakan bukti mutlak. Sebab suatu kawasan yang tidak sedang diolah, tidak berarti tidak dikelola. Lokasi bekas ladang yang dibiarkan begitu saja merupakan salah satu bagian dalam sistem pengelolaan lokasi ladang. Oleh sebab itu, istilah “lahan tidur” yang diintrodusir untuk menyebut kawasan-kawasan perladangan yang tidak sedang dikerjakan, merupakan istilah yang salah kaprah dan menyesatkan, terutama bagi kalangan yang tidak memahami sistem pengelolaan wilayah adat yang berlaku pada msayarakat adat Dayak.
·         Penemu atau Penggarap Pertama.
Orang yang menjadi penemu pohon tertentu di hutan atau yang menjadi pemanen pertama, misalnya pohon tempat lebah madu bersarang, memiliki hak kepemilikan atas penemuannya tersebut. Hal ini berlaku pula bagi penemuan atas lokasi pemasangan perangkap binatang atau ikan di sungai. Kepemilikan dapat diperkuat dengan tanda-tanda tertentu berbentuk fisik agar orang lain mengetahui bahwa tempat tersebut telah ada pemiliknya. Terhadap lokasi berladang juga berlaku hak kepemilikan yang sama. Penggarap pertama kawasan rimba, memiliki hak atas lokasi tersebut meskipun selanjutnya tidak ditanami dengan tanaman keras.
·         Upacara Adat.
Ritual tertentu yang dilakukan terhadap sebuah kawasan dapat pula menjadi bukti atas hak yang dmiliki. Lahan yang dipudas yakni ritual yang dilakukan untuk memindahkan mahluk lain yang menjadi penghuni lahan tersebut, termasuk dalam kategori ini.
 2. Bukti Fisik
Bukti fisik terdapat dalam berbagai jenis. Bukti yang paling penting adalah unsur-unsur   yang merupakan hasil karya pemiliknya. Di bawah ini disebutkan beberapa bukti fisik tersebut;
·         Tanaman
Tanaman yang ditanam di atas kawasan yang dimiliki merupakan bukti yang sangat penting. Kepemilikan terhadap kawasan tersebut tergantung pada usia jenis tanaman yang ditanam. Oleh sebab itu, lahan bekas perladangan yang tidak ditanami dengan tanaman yang berusia lama seperti karet, rotan atau buah-buahan, akan habis kepemilikannya setelah tanaman yang ada di bekas ladang tersebut selesai di panen. Termasuk dalam hal ini adalah tanaman-tanaman selain padi seperti tebu dan umbi kayu yang akan selesai dipanen setelah 2-3 tahun berikutnya. Hak atas tanaman yang ditanam ini berlaku pula jika tanaman tersebut ditanam di atas tanah pribadi milik orang lain, tentu saja setelah melalui persetujuan kedua belah pihak. Pohon buah-buahan tertentu dapat diklaim kepemilikannya oleh orang yang menanam yang bukan pemilik tanah.
·         Tanda-Tanda Khusus
Bukti kepemilikan dapat pula dilakukan dengan memasang tanda-tanda tertentu pada obyek yang haknya telah dimiliki. Pohon tertentu yang tumbuh secara alamiah dan ditemukan di hutan dapat dipasang dengan tanda khusus misalnya dengan menjepitkan dua batang bambu masing-masing di sebelah kiri dan kanan sebagai bukti kepemilikan.
Tempat pijakan kaki ketika memanjat (jantak) yang dipasang pada pohon madu atau pohon dimana ada rongga tempat burung tertentu bersarang di atasnya, juga merupakan bukti kepemilikan yang sah. Tanda lain dapat berupa tanda penunjuk yang dibuat dari kayu yang dijepitkan pada sebatang bambu atau pohon untuk menunjuk ke arah obyek yang telah dimiliki haknya.
·         Konflik Internal & Penyelesaiannya
Berbagai konflik antar warga yang berkaitan dengan hak kepemilikan diselesaikan berdasarkan Hukum Adat yang berlaku. Konflik dengan warga dari kampung lain diselesaikan menurut tata cara Hukum Adat yang berlaku pada kampung yang warganya menjadi korban. Pada kasus yang menyangkut antar individu, penyelesaiannya diusahakan dengan cara internal sebelum dibawa ke sidang peradilan adat. Hal ini tidak berarti bahwa melalui sidang adat, perkara tidak bisa diselesaikan dengan cara berdamai.

VII. Kesimpulan
Dengan demikian dapat diperoleh simpulan bahwa Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam ialah:
1. Perladangan berpindah yang gilir balik, pada hutan sekunder, tidak tebang habis dan budaya regenerative, bekerja bersama-sama, dan diatur hukum adat untuk menjaga kelestarian hutan
2.    Konsepsi konservasi dan perlindungan flora dan fauna oleh Suku Dayak dapat ditelusuri melalui penggunaan berbagai terminologi seperti Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan, dan Pukung Himba.
3.    Beje untuk mereduksi bahaya kebakaran hutan/lahan gambut.
Di dalam ritual berladang ada beberapa tahap yang harus dilakukan agar tidak mengalami gagal panen, antara lain:
1.    Gawi Mite Patendu atau Penentuan Musim;
2.    Gawi Mambagi Eka Malan atau Penentuan Lokasi dan ukuran;
3.    Gawi Sahelu Bara Mandirik atau ritual sebelum menebas pohon perdu;
4.    Gawi Mamanggul atau memohon izin agar penguasa (gana) tanah setempat berpindah ke tempat lain;
5.    Gawi Tamparan Dirik atau dimulainya pembukaan ladang dengan melihat petunjuk mimpi-mimpi;
6.    Gawi Maneweng atau menebang;
7.    Gawi Maentai Tana inusul atau menunggu musim yang tepat untuk membakar agar tidak menjalar dan terjadinya kebakaran hutan;
8.    Gawi Manusul Tana atau Membakar. Terlebih dulu membuat ‘sekat api’ atau parit-parit kecil di sekeliling ladang agar tidak merembet ke lahan lainnya;
9.    Gawi Lius Manusul atau membersihkan sisa-sisa bakaran;
10. Gawi Manugal atau musim tanam/tugal;
11. Gawi Katika Ngidam Parei (Tihin Hatue); dan
12. Gawi Manggetem atau musim panen.
Menanam padi, bagi masyarakat dayak tidak hanya sebatas buka ladang-tanam-panen, tetapi menjadi suatu aktifitas budaya. Tanaman padi merupakan tanaman sakral masyarakat dayak, banyak masyarakat yang tidak menjual padi hasil panen mereka tetapi akan tetap disimpan sebagai bahan makanan selama satu tahun.
Akhirnya dengan memperhatikan adanya kearifan lokal di atas dapat meningkatkan kemampuan kita memaknainya yang diwujudkan dalam cara berpikir, gaya hidup dan kebijakan secara berkesinambungan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan sehingga diharapkan mampu menghasilkan peningkatan berkehidupan yang berkualitas dalam masyarakat dan Negara.
  
PUSTAKA

Alamsyah, 2010. Larangan pembakaran Hutan dan Lahan di Kalteng. http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/23/jangan-abaikan-kearifan-lokal/.
Anonim, TT. Agama tuntang Hadat Katingan Wajah Malan. R. Univ. Biblioteek. Leiden.
Dohong, Alue. 2009. Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Perlindungan Flora dan Fauna Endemik. http://aluedohong.blogspot.com/2009/05/kearifan-lokal-dayak-dalam-perlindungan.
Kebudayaan Dayak. TT. Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam. http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Sistem_Pengelolaan_ Sumber_Daya_Alam.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar