BUDAYA SUKU DAYAK KALIMANTAN TENGAH
DALAM MENGELOLA SUMBER DAYA
ALAM
(POLA LADANG BERPINDAH)
I. Sejarah Singkat Kalimantan Tengah
Sejarah singkat Kalimantan Tengah didalam Maneser (TT)
adalah dimulai sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang
masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat
transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah
Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan
Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan.
Tahun 1620, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kerajaan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1679 Kerajaan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah: Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman.
Tahun 1620, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kerajaan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1679 Kerajaan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah: Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman.
Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas,
Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang
memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria
gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca.
Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam
XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun 1787, dengan adanya perjanjian
antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan
nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Tahun 1917, Pemerintah Penjajah mulai
mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan petugas-petugas
pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak
abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan
maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu
saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka
lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah
Sultan Mohamad Seman terbunuh di Sungai Menawing dan dimakamkan di
Puruk Cahu.
Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke
pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para
penjajah tidak mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli
tetap bertahan dan mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran
antara suku Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran
diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya
Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda. Menurut Hermogenes Ugang, pada
abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia
pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya
hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang
telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membapbtiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi
Katholik. Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan
pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah
Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan
pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju,
sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan
Sultan Banjarmasin.
Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu
umat Katholik orang Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli
milik leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah
dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut
telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis
(jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini
terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak
burung dalam bahasa Banjar. Di masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan
Tengah, sekalipun telah bersosialisasi dengan pendatang, namun tetap
berada dalam lingkungannya sendiri. Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah
mengenyam pendidikan formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya
dengan mendirikan Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh
Hausman Babu, M. Lampe , Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis ,
Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak,
bergerak aktif hingga tahun 1926. Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih
mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak.
Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi
Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka
yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat,
Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto
Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik
Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga
bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia. Tahun 1945, Persatuan Dayak yang
berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai cabang di seluruh Kalimantan,
dipelopori oleh J. Uvang Uray , F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T.
Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian
bergabung dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat
meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau
Persatuan Suku Kalimantan Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai,
Muchtar, R. Magat, dan masih banyak lainnya.
II. Kalimantan Tengah Secara Geografis
Kalimantan Tengah merupakan provinsi
terbesar di Pulau Kalimantan, luasnya sekitar 253.800 km² dimana sebagian besar
wilayahnya adalah hutan. Bagian utara adalah pegunungan yang sulit dijangkau,
bagian tengahnya merupakan hutan tropis yang lebat. sedangkan wilayah selatan
adalah rawa dengan banyak sungai. Iklim di Kalimantan panas dan lembab.
Kalimantan Tengah memiliki posisi geografisnya yang cukup strategis, berhadapan
langsung dengan Laut Jawa dan berbatasan dengan provinsi Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur, di provinsi inilah Anda berkesempatan untuk berwisata alam di
tempat yang tepat. Itu karena Kalimantan Tengah sangat kaya dengan cagar
alamnya, seperti di Bukit Raya dan kelompok Hutan Monumental Kotawaringin
Timur, Bukit Sapat Hawung di Barito Utara, dan Merang di Kota Palangkaraya.
Selain itu ada juga suaka alam darat dan laut di Kotawaringin Barat. Air terjun Malau Besar dan Pauras di Barito Utara, Tangkiling di Palangkaraya. Pantai yang indah dan alami di Kotawaringin Barat, serta Ujung Pandaran di Kotawaringin Timur. Orangutan merupakan hewan endemik yang masih banyak Anda dapat jumpai di Kalimantan Tengah khususnya Taman Nasional Tanjung Puting dengan luas mencapai 300.000 Ha tepatnya di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan. Di sini juga terdapat hewan lain seperti beruang, landak, owa-owa, beruk, kera, bekantan, trenggiling, buaya, kukang, paus air tawar (tampahas), arwana, manjuhan, biota laut, penyu, bulus, burung rangkong, betet, dan lain-lain (Indonesia Travel, TT).
Selain itu ada juga suaka alam darat dan laut di Kotawaringin Barat. Air terjun Malau Besar dan Pauras di Barito Utara, Tangkiling di Palangkaraya. Pantai yang indah dan alami di Kotawaringin Barat, serta Ujung Pandaran di Kotawaringin Timur. Orangutan merupakan hewan endemik yang masih banyak Anda dapat jumpai di Kalimantan Tengah khususnya Taman Nasional Tanjung Puting dengan luas mencapai 300.000 Ha tepatnya di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan. Di sini juga terdapat hewan lain seperti beruang, landak, owa-owa, beruk, kera, bekantan, trenggiling, buaya, kukang, paus air tawar (tampahas), arwana, manjuhan, biota laut, penyu, bulus, burung rangkong, betet, dan lain-lain (Indonesia Travel, TT).
III.
Suku-Suku Dayak yang ada di Kalimantan Tengah
Sebutan umum suku Dayak yang
ada di Kalimantan Tengah adalah suku Dayak Ngaju karena yang paling dominan.
Suku lainnya yang tinggal di pesisir adalah Banjar Melayu Pantai merupakan
24,20 % populasi. Di samping itu ada pula suku Jawa, Madura, Bugis dan
lain-lain. Gabungan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai
37,90%. Keturunan suku Dayak yang mendiami provinsi ini adalah orang Ngaju, Ot
Danum dan Maanyan. Bahasa daerah di Kalimantan Tengah terdiri dari puluhan,
bahkan ratusan bahasa Dayak. Namun, dalam pergaulan sehari-hari, bahasa yang
kerap digunakan adalah bahasa Dayak Ngaju, Dayak Maayan, Dayak Kapuas, bahasa
Jawa, dan bahasa Banjar. Suku Dayak dikenal dengan “Rumah Betang” sebuah rumah
besar yang dihuni beberapa keluarga sekaligus secara turun-temurun. Karena
itulah kekerabatan mereka sangat erat dan menjadi unsur dominan keberlangsungan
kebudayaan unik ini. Sebutan umum suku Dayak yang ada di Kalteng adalah suku
Dayak Ngaju (dominan), suku lainnya yang tinggal di pesisir adalah Banjar
Melayu Pantai merupakan 25 % populasi. Di samping itu ada pula suku Jawa,
Madura, Bugis dan lain-lain. Suku Dayak di Kalteng antara lain :
1. Suku Dayak Ot
Danum
2. Suku Dayak Ngaju
3. Suku Dayak Bakumpai
4. Suku Dayak Maanyan
5. Suku Dayak Dusun
6. Suku Dayak Lawangan
7. Suku Dayak Siang Murung
8. Suku Dayak Punan
9. Suku Dayak Sampit
10. Suku Dayak Kotawaringin Barat
11. Suku Dayak Katingan
12. Suku Dayak Bawo
13. Suku Dayak Taboyan
14. Suku Dayak Mangkatip
2. Suku Dayak Ngaju
3. Suku Dayak Bakumpai
4. Suku Dayak Maanyan
5. Suku Dayak Dusun
6. Suku Dayak Lawangan
7. Suku Dayak Siang Murung
8. Suku Dayak Punan
9. Suku Dayak Sampit
10. Suku Dayak Kotawaringin Barat
11. Suku Dayak Katingan
12. Suku Dayak Bawo
13. Suku Dayak Taboyan
14. Suku Dayak Mangkatip
Indonesia Aondroid
(TT)
IV.
Arti Rumah Betang “Huma Betang” Kalimantan
Tengah
Didalam Fazz (2007)
arti Rumah Betang “Huma Betang” adalah
rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan,
terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku
Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk
melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke
ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau
melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang
dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang,
kebun maupun ternak).
Bentuk dan besar
rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai
panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun
dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah.
Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya
banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di
Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu
buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut.
Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat
dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak
juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan
aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang
dengan tempat pemukiman penduduk.
Lebih dari bangunan
untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari
struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan
mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah
Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara
sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat.
Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka
maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol
dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di
antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang
mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang
menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama
ataupun latar belakang sosial.
V. Pola Perladangan Berpindah
Suatu
contoh nilai-nilai kearifan lokal yang diterapkan pada usaha perladangan
berpindah diuraikan oleh Alamsyah (2010) ialah :
1. Pola yang digunakan masyarakat adalah pola berladang gilir balik.
Pola ini berarti bila, suatu areal sudah dibuka dan diladangi oleh masyarakat,
maka akan ditinggal beberapa waktu tertentu untuk membuka lahan baru. Kemudian,
setelah ladang pertama subur, maka masyarakat akan kembali lagi untuk
menyambung perkebunan pada lahan tersebut.
2. Para peladang tradisional
suku Dayak lebih suka memanfaatkan Jekau (hutan sekunder) daripada Empak (hutan
primer).
3. Para peladang selalu melakukan survey tentang kualitas lahannya
sebelum berladang. Kebiasaan survey ini sudah menjadi adat kebiasaan turun
temurun pada masyarakat Tentunya hanya hutan Jekau yang menurut petani sangat
mudah untuk ditebang dan diurus namun kualitas tanahnya juga subur yang
dijadikan ladang.
4. Dalam setiap kegiatan berladang, masyarakat selalu melakukan
upacara-upacara ritual adat untuk memohon kepada Sang Pencipta untuk memberikan
kesuburan tanah selain juga dimaksudkan untuk menjauhkan masyarakat dari
bencana alam. Hal tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat memang sangat dekat
dengan alamnya, dan menunjukan bahwa mereka mempunyai semangat yang tinggi
untuk pelestarian alam dan lingkungan hidup.
5. Dalam aktifitas membuka lahan, tentunya tidak semua tumbuhan dan
fauna yang dibabat, namun masih ada sebagian yang dibiarkan tumbuh subur di
ladang mereka yang dianggap bermanfaat di kemudian hari.
6. Peristiwa berladang sebenarnya adalah peristiwa budaya, dimana
budaya handep hapakat atau kerjasama sejak menebas, membakar, menanam, hingga
memanen merupakan rangkaian kearifan yang ditorehkan dalam kebersamaan dan
semangat cinta kasih.
7. Berladang adalah budaya regeneratif, dimana karet, rotan, damar dan
tumbuhan lainnya ditanam pasca perladangan sebelumnya. Budaya ini, karenanya
masyarakat Dayak menanam tumbuhan tersebut dibekas ladang terdahulu adalah
suatu keharusan.
8. Masyarakat Dayak Kalteng adalah masyarakat tradisional yang masih
menghormati dan memegang erat hukum adat mereka. Hukum adat yang masih kuat,
karenanya para tokoh masyarakat seperti, Penghulu, Damang, Kepala Adat atau
Tetua Kampung masih dominan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dan
persoalan yang muncul di masyarakat.
9. Hukum adat memberikan
sanksi kepada mereka yang merusak hutan dan lahan dengan cara membakar. Hukum
adat yang dimaksud dapat berupa Denda Adat, Pati Pamali, Penggantian Kerugian
dan yang lebih berat biasanya sampai “hukum sosial” yaitu rasa malu yang harus
ditanggung oleh pelaku jika merusak kebun atau ladang orang lain.
Menurut
Dohong (2010) bahwa upaya konservasi sumberdaya alam dan perlindungan terhadap
keanekaragaman sumberdaya hayatinya juga sudah dipraktekkan secara turun
temurun dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah. Upaya itu
bahkan boleh dikatakan lahir bersamaan dengan kehadiran peradaban suku Dayak
itu sendiri. Citra manusia Dayak yang bercirikan sosio-religio- magis, pada
gilirannya melahirkan sikap dan perilaku yang arif dan bertanggung jawab dalam
praktek pengelolaan sumberdaya hutan.
Selanjutnya,
Dohong (2010) menjelaskan bahwa konsepsi konservasi dan perlindungan flora dan
fauna oleh Suku Dayak dapat ditelusuri melalui penggunaan berbagai terminologi
seperti Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan, dan Pukung
Himba.
Tajahan
ialah suatu lokasi yang dikeramatkan oleh
Suku Dayak khususnya yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di lokasi tajahan ini didirikan
sebuah rumah-rumahan berukuran kecil untuk menaruh sesajen sebagai tanda
persembahan kepada roh-roh halus yang bersemayam di tempat itu. Rumah-rumahan
ini biasanya diisikan beberapa patung kecil yang merupakan simbol (replika)
dari anggota keluarga yang sudah meninggal. Mereka meyakini roh orang meninggal
dunia berdiam dalam patung-patung kecil tersebut, sehingga tidak akan
mengganggu anggota keluarga yang masih hidup. Lokasi tajahan biasanya pada kawasan hutan yang masih lebat
dan terkesan angker. Pada lokasi tersebut dilarang melakukan aktivitas manusia
seperti menebang hutan, berburu dan lain-lainnya. Konsep tajahan sangat relevan dengan
kegiatan konservasi karena di dalamnya terdapat aspek perlindungan dan
pelestarian keanekaragaman hayati.
Kaleka
ialah daerah peninggalan nenek moyang Suku
Dayak jaman dahulu kala. Daerah ini biasanya ditandai dengan adanya bekas
tiang-tiang rumah betang/rumah panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua
seperti durian, langsat dan sebagainya. Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan
dilindungi oleh pihak keluarga secara turun temurun sebagai harta waris yang
peruntukan dan pemanfaatannya (misal mengambil buah-buahan) untuk kepentingan
bersama (common property). Dari perspektif konservasi ekologis, kaleka dapat dipandang sebagai
gudang plasma nutfah (genetic pool).
Sepan-pahewan
merupakan tempat sumber mata air asin dimana
binatang-binatang seperti rusa, kijang, kancil dan lain-lain meminum air asin
sebagai sumber 5 mineral. Dalam bahasa Dayak Kenyah sepan-pahewan disebut dengan istilah Sungan.
Lokasi sepan-pahewan merupakan tempat perburuan Suku Dayak untuk memenuhi
kebutuhan hewani. Tempat perburuan karenanya, lokasi tersebut umumnya selalu
dipelihara dan dilindungi. Perlindungan lokasi sepan-pahewan sangat relevan dengan konsepsi
perlindungan satwa pada konservasi modern.
Para
peladang Suku Dayak di Kalimantan Tengah memahami betul bahwa di dalam kegiatan
membuka ladang, maka roh-roh penunggu (gana) yang bermukim pada lokasi itu
harus dipindahkan ke lokasi yang baru yang disebut pukung himba. Pukung himba ialah bagian dari
kawasan hutan rimba yang dicadangkan untuk tidak ditebang/dieksploitasi.
Ciri-ciri daerah yang dijadikan pukung
himba umumnya wilayah yang berhutan lebat dan berumur tua
dengan diameter vegetasi kayu rata-rata berukuran relatif sangat besar, belum
banyak terjamah oleh kegiatan manusia dan banyak dihuni oleh satwa liar. Hutan
yang berumur tua dengan ukuran kayu besar dan terkesan sangat angker dipercayai
sebagai tempat yang disenangi roh-roh (gana) untuk tempat bermukim. Keberadaan
dan konsep pukung himba dari
perspektif konservasi merupakan usaha pelestarian kawasan hutan beserta dengan
keanekaragaman hayati di dalamnya.
Berladang atau mamalan-manana merupakan salah satu ritual penting dalam kehidupan
masyarakat Dayak Ngaju. Berladang dalam konsep pemikiran dan budaya Dayak Ngaju
dan Dayak pada umumnya bukan persoalan pembalakan hutan atau peladangan
berpindah seperti yang distigmakan. Berladang dalam kebudayaan Dayak Ngaju
adalah proses untuk mengembangbiakkan padi sebagai perwujudan Dewi Sri atau Dewi Padi. Padi awalnya
sebagai makanan para Sangiang yang dicuri oleh Puteri Jampa dari Mahatala karena si Puteri iba melihat
kehidupan manusia di bumi. Oleh karenanya tidak dibenarkan menyia-nyiakan padi,
beras, atau nasi karena ia memiliki roh yang disebut gana. Gana adalah roh
penguasa atas benda-benda alam. Gana
tidak memiliki kekuasaan langsung sebagai perantara ilah-ilah atau raja-raja.
Roh yang terdapat di dalam padi disebut ganan
parei atau bawin parei. Dengan
demikian selain bertujuan sebagai upaya untuk penyediaan bahan pangan,
berladang merupakan suatu kewajiban manusia Dayak Ngaju untuk terus
mengembangbiakkan tumbuhan surgawi itu di bumi agar tidak punah. Di dalam
ritual berladang setidaknya ada beberapa tahap yang harus dilakukan agar tidak
mengalami gagal panen (diambil dari Agama
tuntang Hadat Katingan Wajah Malan, R. Univ. Biblioteek, Leiden), antara
lain:
1. Gawi Mite Patendu atau
Penentuan Musim;
2. Gawi Mambagi Eka Malan atau Penentuan
Lokasi dan ukuran;
3. Gawi Sahelu Bara Mandirik atau ritual
sebelum menebas pohon perdu;
4. Gawi Mamanggul atau memohon izin agar
penguasa (gana) tanah setempat
berpindah ke tempat lain;
5. Gawi Tamparan Dirik atau dimulainya
pembukaan ladang dengan melihat petunjuk mimpi-mimpi;
6. Gawi Maneweng atau menebang;
7. Gawi Maentai Tana inusul atau menunggu
musim yang tepat untuk membakar agar tidak menjalar dan terjadinya kebakaran
hutan;
8. Gawi Manusul Tana atau Membakar.
Terlebih dulu membuat ‘sekat api’ atau parit-parit kecil di sekeliling ladang
agar tidak merembet ke lahan lainnya;
9. Gawi Lius Manusul atau membersihkan
sisa-sisa bakaran;
10. Gawi Manugal atau musim tanam/tugal;
11. Gawi Katika Ngidam Parei (Tihin Hatue);
dan
12. Gawi Manggetem atau musim panen.
Ada puluhan ritual yang menjadi prasyarat dari prosesi
di atas sehingga proses berladang atau membuat ladang bukanlah proses yang
sederhana dan sembarangan. Kesemuanya tidak dilakukan secara individual tetapi
dengan konsep ‘pinjam-bayar tenaga’ atau disebut dengan handep.
VI. Hak dan Bukti Kepemilikan
Menurut Kebudayaan Dayak (TT) bahwa
hak dan bukti kepemilikan atas tanah/lahan meliputi:
A. Hak Kepemilikan
Hak milik warga benuaq/benua adalah kawasan dimana seluruh warga yang
bermukim di benuaq tertentu memiliki hak kepemilikan yang sama. Yang termasuk
hak milik benuaq adalah kuburan, tempat keramat, kampung buah, rimba dan areal
perladangan termasuk tempat berburu, sungai, sarang lebah yang belum dimiliki,
buah-buahan yang tumbuh liar di hutan umum, sarang burung yang belum ada
pemiliknya serta pohon-pohon lain yang bermanfaat dan tumbuh di kawasan yang
menjadi hak milik benuaq.
1. Hak Milik
Individu
Hak milik individu atas tanah dan tanam-tumbuh di atasnya diperoleh
melalui cara-cara berikut ini:
·
Bekas ladang
yang setelah panen ditanami dengan tanaman keras seperti pohon buah-buahan atau
tanaman produktif lainnya seperti karet, kopi, rotan dlsb.
·
Warisan orangtua:
- Lahan yang diadati (dipudas) meskipun tidak ada tanaman kerasnya. Lahan yang dipudas adalah lahan yang ketika digarap menyebabkan kecelakaan atau penyakit bagi penggarapnya sehingga harus dilakukan upacara adat. Lahan yang dipudas termasuk hak milik pribadi karena orang yang memudas telah mengeluarkan sejumlah biaya sehingga bagi orang lain yang ingin menggarap lahan tersebut harus mengganti biaya yang telah dikeluarkan tersebut.
- Bawas bekas rimba yang digarap. Dengan kata lain, menjadi penggarap pertama lahan rimba. Penggarap berikutnya harus membayar hukuman adat yang disebut kerangahan beliung (lihat di bawah).
- Lahan yang diperoleh dengan membayar hukuman kerangahan beliung, yakni menjadi penggarap ke-2 dan ke-3 atas bawas bekas rimba (lihat di atas).
- Lahan yang dibeli dari warga se-kampung. Ini terutama berlaku pada masa sekarang.
- Lahan yang diperoleh sebagai pembayaran hukuman adat (denda adat yang dibayar dengan tanah).
Diluar kepemilikan atas tanah dan tanam-tumbuh, yang juga termasuk hak
milik individu adalah seperti:
1. Tempat memasang perangkap ikan di sungai, misalnya
buangan/lumpatan atau pempambang di riam, tabaq tekalak, tabing, tabur atau
bubuq di sungai kecil. Jika ada orang lain yang memasang perangkap di tempat
yang telah dimiliki secara individu tersebut, maka dapat didenda dengan hukum
adat.
2. Tepian atau tempat pemandian di pondok ladang. Orang
lain dilarang menuba di hulu sungai tempat pemandian tersebut tanpa ijin.
3. Tempat memasang perangkap binatang di atas tanah
seperti belantik dan lubang. Jika ada orang lain yang mengambil alih tanpa
ijin, maka akan dikenakan hukum adat.
4. Pohon madu tempat lebah bersarang (lalau) termasuk
rampuk (sarang lebah dipohon tertentu), sarang burung tingang, penagung, kakah,
ruiq, kekalau yang membuat lubang di pohon kayu sebagai sarangnya.
5. Pohon belian yang telah ditebang. Meskipun sudah
puluhan tahun tidak diolah, bahkan jika yang menebang bahkan sudah meninggal
dunia, maka keturunannya masih memiliki hak atas pohon belian tersebut.
6. Pohon damar atau tengkawang yang ditemukan dan dipanen
pertama kali.
7. Pohon buah yang tumbuh liar di hutan dan telah
ditandai.
8. Harta warisan
2. Hak Milik
Seketurunan
Yang termasuk hak milik seketurunan adalah dahas-dakar (pedahasan pada
Dayak Jalai, tembawang, dll), kebun buah-buahan, kebun karet, rotan dll. Masih
banyak hak seketurunan yang tidak berhubungan dengan tanah yakni tempat
memasang perangkap ikan di sungai, tempat memasang perangkap binatang di atas
tanah dan di atas pohon, pohon tempat lebah bersarang, pohon belian yang sudah
ditebang, meskipun sudah puluhan tahun tidak diolah, bahkan jika yang menebang
bahkan sudah meninggal dunia, maka keturunannya masih memiliki hak pohon belian
tersebut. Pohon damar atau tengkawang yang ditemukan dan dipanen pertama kali.
3. Hak Milik
Umum atau publik
Yang termasuk hak milik umum/publik adalah tempat pemukiman, tempat
berburu, tempat menangkap ikan di sungai (menjala, memancing dll), memulut,
memasang jerat, membuah, tempat berladang, tempat keramat.
Karena masyarakat adat Dayak tidak mengenal tradisi tulisan, maka “dokumen”
yang mereka miliki sebagai bukti kepemilikan atas wilayah adat adalah dalam
bentuk fisik dan non-fisik.
1. Bukti
Non-Fisik
·
Ceritera
asal-usul dan kesaksian.
Bukti non-fisik biasanya dalam bentuk
kesaksian-kesaksian serta ceritera asal-usul yang menyangkut suatu kawasan yang
diklaim. Ceritera yang secara runtut dan sesuai dengan fakta yang ada di
lapangan serta dikuatkan oleh para saksi baik warga kampung maupun warga di
luar kampung dapat dijadikan dasar bagi klaim atas suatu wilayah.
·
Pengelolaan.
Bukti
non-fisik lainnya adalah pengelolaan yang dilakukan secara terus menerus
terhadap kawasan tersebut. Tentu saja hal ini bukanlah merupakan bukti mutlak.
Sebab suatu kawasan yang tidak sedang diolah, tidak berarti tidak dikelola.
Lokasi bekas ladang yang dibiarkan begitu saja merupakan salah satu bagian
dalam sistem pengelolaan lokasi ladang. Oleh sebab itu, istilah “lahan tidur”
yang diintrodusir untuk menyebut kawasan-kawasan perladangan yang tidak sedang
dikerjakan, merupakan istilah yang salah kaprah dan menyesatkan, terutama bagi
kalangan yang tidak memahami sistem pengelolaan wilayah adat yang berlaku pada
msayarakat adat Dayak.
·
Penemu atau
Penggarap Pertama.
Orang yang menjadi penemu pohon tertentu di hutan atau
yang menjadi pemanen pertama, misalnya pohon tempat lebah madu bersarang,
memiliki hak kepemilikan atas penemuannya tersebut. Hal ini berlaku pula bagi
penemuan atas lokasi pemasangan perangkap binatang atau ikan di sungai.
Kepemilikan dapat diperkuat dengan tanda-tanda tertentu berbentuk fisik agar
orang lain mengetahui bahwa tempat tersebut telah ada pemiliknya. Terhadap
lokasi berladang juga berlaku hak kepemilikan yang sama. Penggarap pertama kawasan
rimba, memiliki hak atas lokasi tersebut meskipun selanjutnya tidak ditanami
dengan tanaman keras.
·
Upacara
Adat.
Ritual tertentu yang dilakukan terhadap sebuah kawasan
dapat pula menjadi bukti atas hak yang dmiliki. Lahan yang dipudas yakni ritual
yang dilakukan untuk memindahkan mahluk lain yang menjadi penghuni lahan
tersebut, termasuk dalam kategori ini.
2. Bukti
Fisik
Bukti fisik terdapat dalam berbagai jenis. Bukti yang paling penting adalah
unsur-unsur yang merupakan hasil karya pemiliknya. Di bawah ini disebutkan
beberapa bukti fisik tersebut;
·
Tanaman
Tanaman yang ditanam di atas kawasan yang dimiliki
merupakan bukti yang sangat penting. Kepemilikan terhadap kawasan tersebut
tergantung pada usia jenis tanaman yang ditanam. Oleh sebab itu, lahan bekas
perladangan yang tidak ditanami dengan tanaman yang berusia lama seperti karet,
rotan atau buah-buahan, akan habis kepemilikannya setelah tanaman yang ada di
bekas ladang tersebut selesai di panen. Termasuk dalam hal ini adalah
tanaman-tanaman selain padi seperti tebu dan umbi kayu yang akan selesai
dipanen setelah 2-3 tahun berikutnya. Hak atas tanaman yang ditanam ini berlaku
pula jika tanaman tersebut ditanam di atas tanah pribadi milik orang lain,
tentu saja setelah melalui persetujuan kedua belah pihak. Pohon buah-buahan
tertentu dapat diklaim kepemilikannya oleh orang yang menanam yang bukan
pemilik tanah.
·
Tanda-Tanda
Khusus
Bukti kepemilikan dapat pula dilakukan dengan memasang
tanda-tanda tertentu pada obyek yang haknya telah dimiliki. Pohon tertentu yang
tumbuh secara alamiah dan ditemukan di hutan dapat dipasang dengan tanda khusus
misalnya dengan menjepitkan dua batang bambu masing-masing di sebelah kiri dan
kanan sebagai bukti kepemilikan.
Tempat pijakan kaki ketika memanjat (jantak) yang
dipasang pada pohon madu atau pohon dimana ada rongga tempat burung tertentu
bersarang di atasnya, juga merupakan bukti kepemilikan yang sah. Tanda lain
dapat berupa tanda penunjuk yang dibuat dari kayu yang dijepitkan pada sebatang
bambu atau pohon untuk menunjuk ke arah obyek yang telah dimiliki haknya.
·
Konflik
Internal & Penyelesaiannya
Berbagai konflik antar warga yang berkaitan dengan hak
kepemilikan diselesaikan berdasarkan Hukum Adat yang berlaku. Konflik dengan
warga dari kampung lain diselesaikan menurut tata cara Hukum Adat yang berlaku
pada kampung yang warganya menjadi korban. Pada kasus yang menyangkut antar individu,
penyelesaiannya diusahakan dengan cara internal sebelum dibawa ke sidang
peradilan adat. Hal ini tidak berarti bahwa melalui sidang adat, perkara tidak
bisa diselesaikan dengan cara berdamai.
VII. Kesimpulan
Dengan
demikian dapat diperoleh simpulan bahwa Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah
memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam ialah:
1. Perladangan berpindah
yang gilir balik, pada hutan sekunder, tidak tebang habis dan budaya
regenerative, bekerja bersama-sama, dan diatur hukum adat untuk menjaga
kelestarian hutan
2. Konsepsi konservasi dan perlindungan flora dan fauna oleh Suku
Dayak dapat ditelusuri melalui penggunaan berbagai terminologi seperti Tajahan,
Kaleka, Sapan Pahewan, dan Pukung Himba.
3. Beje untuk mereduksi bahaya kebakaran hutan/lahan gambut.
Di dalam ritual berladang ada
beberapa tahap yang harus dilakukan agar tidak mengalami gagal panen, antara
lain:
1. Gawi Mite Patendu atau
Penentuan Musim;
2. Gawi Mambagi Eka Malan atau Penentuan
Lokasi dan ukuran;
3. Gawi Sahelu Bara Mandirik atau ritual
sebelum menebas pohon perdu;
4. Gawi Mamanggul atau memohon izin agar penguasa
(gana) tanah setempat berpindah ke
tempat lain;
5. Gawi Tamparan Dirik atau dimulainya
pembukaan ladang dengan melihat petunjuk mimpi-mimpi;
6. Gawi Maneweng atau menebang;
7. Gawi Maentai Tana inusul atau menunggu
musim yang tepat untuk membakar agar tidak menjalar dan terjadinya kebakaran
hutan;
8. Gawi Manusul Tana atau Membakar.
Terlebih dulu membuat ‘sekat api’ atau parit-parit kecil di sekeliling ladang
agar tidak merembet ke lahan lainnya;
9. Gawi Lius Manusul atau membersihkan
sisa-sisa bakaran;
10. Gawi Manugal atau musim tanam/tugal;
11. Gawi Katika Ngidam Parei (Tihin Hatue);
dan
12. Gawi Manggetem atau musim panen.
Menanam padi, bagi masyarakat dayak tidak
hanya sebatas buka ladang-tanam-panen, tetapi menjadi suatu aktifitas budaya.
Tanaman padi merupakan tanaman sakral masyarakat dayak, banyak masyarakat yang
tidak menjual padi hasil panen mereka tetapi akan tetap disimpan sebagai bahan
makanan selama satu tahun.
Akhirnya
dengan memperhatikan adanya kearifan lokal di atas dapat meningkatkan kemampuan
kita memaknainya yang diwujudkan dalam cara berpikir, gaya hidup dan kebijakan
secara berkesinambungan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan sehingga
diharapkan mampu menghasilkan peningkatan berkehidupan yang berkualitas dalam
masyarakat dan Negara.
PUSTAKA
Alamsyah, 2010. Larangan
pembakaran Hutan dan Lahan di Kalteng. http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/23/jangan-abaikan-kearifan-lokal/.
Anonim, TT. Agama tuntang Hadat Katingan Wajah Malan.
R. Univ. Biblioteek. Leiden.
Dohong, Alue. 2009. Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Perlindungan
Flora dan Fauna Endemik. http://aluedohong.blogspot.com/2009/05/kearifan-lokal-dayak-dalam-perlindungan.
Indonesia Travel. TT. Kalimantan Tengah. http://indonesia.travel/id/discover-indonesia/region-detail/39/kalimantan-tengah.
Kebudayaan Dayak. TT.
Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam. http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Sistem_Pengelolaan_
Sumber_Daya_Alam.
Maneser. TT. Zaman Perjuangan.
http://maneser.kalteng.net/index.php
?option
=com.content&view=article&id=53:zaman-perjuangan&catid=44:perjuang
an&Itemid=37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar